Hosting Unlimited Indonesia
Showing posts with label Fiqih Muslimah. Show all posts
Showing posts with label Fiqih Muslimah. Show all posts

Fiqih Cara berpakaian wanita muslim


Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.

Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar… Ammaba’du
A.Pakaian Wanita Dalam Islam
 http://4.bp.blogspot.com/-AO74SGI3llc/UBx4m2k2wsI/AAAAAAAAA9A/2hyUvxV4yHQ/s1600/muslimah-ist.jpg

Allah Ta’ala berfirman:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (terpaksa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dada-dada mereka.” (QS. An-Nur: 31)

Perhiasan yang dimaksud adalah perhiasan yang digunakan oleh wanita untuk berhias, selain dari asal penciptaannya (tubuhnya).
Khimar adalah sesuatu yang digunakan oleh wanita untuk menutupi kepalanya, wajahnya, lehernya, dan dadanya.

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ شِبْرًا قَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا تَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang memanjangkan kainnya karena sombong maka Allah tidak akan melihatnya.” Ummu Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus dilakukan oleh para wanita dengan ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab, “Kalian boleh memanjangkannya sejengkal.” Ummu Salamah bertanya lagi, “Jika begitu, maka kaki mereka akan terbuka!” Beliau menjawab, “Kalian boleh menambahkan satu hasta dan jangan lebih.” (HR. At-Tirmizi no. 1731 dan An-Nasai no. 5241)

Sehasta adalah dari ujung jari tengah hingga ke siku.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat: (1) Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga. Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini.” (HR. Muslim no. 2128)

Makna ‘berpakaian tetap telanjang’ adalah: Dia menutup sebagian auratnya tapi menampakkan sebagian lainnya. Dan ada yang menyatakan maknanya adalah: Dia menutupi seluruh auratnya tapi dengan pakaian yang tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Lihat Syarh Muslim: 14/356
Penjelasan ringkas:

Ketiga dalil di atas menunjukkan wajibnya seorang muslimah untuk berhijab.
Hijab secara syar’i adalah seorang wanita menutupi seluruh tubuhnya dan perhiasannya, yang dengan hijab ini dia menghalangi orang asing (non mahram) untuk melihat sedikitpun dari bagian tubuhnya atau perhiasan yang dia pakai. Dan hijab ini bisa berupa pakaian dan bisa juga berupa berdiam di dalam rumah.
Adapun menutup seluruh tubuh maka ini mencakup wajah dan kedua telapak tangan. Ini ditunjukkan dalam surah An-Nur di atas dari beberapa sisi:

1. Allah memerintahkan untuk kaum mukminin untuk menundukkan pandangan mereka dari yang bukan mahram mereka. Dan menundukkan pandangan tidak akan sempurna kecuali jika wanita tersebut berhijab dengan hijab yang sempurna menutupi seluruh tubuhnya. Sementara tidak diragukan lagi bahwa menyingkap wajah merupakan sebab terbesar untuk memandang ke arahnya.

2. Allah Ta’ala melarang untuk memperlihatkan sedikitpun dari perhiasan luarnya kepada non mahram, kecuali terlihat dalam keadaan terpaksa karena tidak bisa disembunyikan, semisal pakaian terluarnya. Jika Allah Ta’ala melarang untuk memperlihatkan perhiasan luar (selain tubuh), maka tentunya wajah dan telapak tangan yang merupakan perhiasan yang melekat pada diri seorang wanita lebih wajib lagi untuk disembunyikan.

3. Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengulurkan khimar mereka sampai ke dada-dada mereka, sementara khimar adalah sesuatu yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Jika khimar diperintahkan untuk diulurkan sampai ke dada, maka tentunya secara otomatis wajah tertutup oleh khimar tersebut.

Aisyah radhiallahu anha berkata,
“Semoga Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama. Tatkala Allah menurunkan, “Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dada-dada mereka,” mereka merobek kain-kain mereka lalu menjadikannya sebagai khimar.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ucapan ‘mereka lalu menjadikannya sebagai khimar’, yakni: Mereka menggunakannya untuk menutupi wajah-wajah mereka.” (Lihat Fath Al-Bari: 8/489)
Adapun hadits Ibnu Umar di atas, maka dia menjelaskan mengenai beberapa perkara:
1. Kaki wanita adalah aurat yang wajib ditutup.
2. Larangan isbal hanya berlaku bagi lelaki dan tidak berlaku bagi wanita.
3. Panjang maksimal pakaian wanita adalah sehasta dari mata kaki, tidak boleh lebih dari itu.
Sementara hadits Abu Hurairah menjelaskan tentang syarat-syarat hijab dan hijab secara umum, yaitu:

1. Hijab tidak boleh tipis sehingga menampakkan apa yang ada di baliknya.
2. Hijab tidak boleh ketat sehingga membentuk lekukan tubuhnya.
3. Haramnya wanita berjalan dengan berlenggok, karena itu merupakan bentuk menampakkan perhiasannya.
4. Wajibnya wanita menjaga kehormatan dan rasa malu mereka.
5. Menutup sebagian tubuh dan menampakkan sebagian tubuh yang lain sama saja dengan telanjang.
[referensi: Hirasah Al-Fadhilah karya Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid]

B.Adab Berpakaian dan Berhias
 
http://cahayawahyu.files.wordpress.com/2012/06/wanita-solehah-dan-durhaka1.jpg
Allah -Ta’ala- berfirman :

“Wahai bani Adam, telah kami turunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi auratkalian dan juga perhiasan. Sedangkan pakaian takwa , demikian itu lebih baik. Demikian itu adalah salah satu dari ayat-ayat Allah, agar mereka mau mengingatnya. Wahai Bani Adam, janganlah sampai syaithan menimpakan fitnah kepada kalian sebagaimana dia telah mengeluarkan kedua orang tua kalian dari surga, dan meninggalkan pakaian mereka berdua sehingga auratnya tersingkap. Sesungguhnya syaithan, dia dan pengikutnya dapat melihat kalian dari tmepat yang kalian tidak dapat melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan para syaithan sebagai wali bagi orang-orang yang tidak beriman.“ ( Al-A’raf : 26 – 27 ).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Makan, minum, bersedekah dan berpakainlah kalian tanpa berlebih-lebihan dan berbuat kesombongan” .

C.Polemik Busana Muslimah Bermotif (bordir/renda)
 http://www.maukeren.com/wp-content/uploads/2013/04/anastasie-rp-69-000.jpg
Tanya:

Bismillah…
Assalamu’alaikum wa rohmatulloh wa barokatuh,
Ustadz, kami memiliki pertanyaan seputar jilbab muslimah. Telah terjadi diskusi antara beberapa akhwat, tentang hukum memakai busana muslimah (jilbab/ gamis/ Jubah) yang bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis di luar rumah di hadapan non mahrom, dimana ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Berikut kami ringkaskan diskusi yang terjadi:
Yang membolehkan berhujjah/beralasan:

1. Pakaian bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis tersebut sudah biasa di negeri kita (Indonesia) dan berpakaian hitam/gelap polos malah menjadi perhatian orang di sebagian tempat, kondisi ataupun acara yang kebanyakan orangnya berpakaian bercorak-corak/batik. Hendaknya kita berpakaian sesuai ‘urf, karena menurut para ulama hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf berpakaian masyarakat setempat.
2. Hadits Ummu Kholid rodhiyallohu anha yang mengenakan baju bergaris-garis hijau & kuning dalam Shohih al-Bukhori:

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ فَقَالَ مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ فَسَكَتَ الْقَوْمُ قَالَ ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ فَأَخَذَ الْخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا وَقَالَ أَبْلِي وَأَخْلِقِي وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ فَقَالَ يَا أُمَّ خَالِدٍ هَذَا سَنَاهْ وَسَنَاهْ بِالْحَبَشِيَّةِ حَسَنٌ
“Dibawakan kepada Nabi sebuah kain yang di dalamnya ada pakaian kecil yang berwarna hitam. Maka beliau bersabda, “Menurut kalian siapa yang pantas kita pakaikan baju ini?” maka para sahabat diam. Beliau bersabda, “Bawa Ummu Khalid ke sini,” maka Ummu Khalid pun dibawa kepada beliau, lalu beliau mengambil baju tersebut dan memakaikannya. Lalu beliau bersabda, “Semoga tahan lama hingga Allah menggantinya dengan yang baru.” Pada pakaian tersebut ada corak yang berwarna hijau atau kuning, dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, ini sanah, sanah.” Sanah adalah perkataan bahasa Habasyah yang berarti bagus.” (no. 5375)

Dan berpendapat bahwa meski ketika itu Ummi Khalid belum baligh namun Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan, sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang perempuan dewasa mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan garis-garis berwarna hijau atau kuning di hadapan laki-laki non mahrom. Dan juga adanya kaidah “tidak boleh menunda penjelasan ketika dibutuhkan”.
3. Imam Bukhori pernah meriwayatkan dalam kitab Shohih-nya bahwa Ummul Mukminin ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha pernah mengenakan pakaian berwarna merah dengan “corak mawar” ketika sedang melakukan ihrom di Makkah.
(catatan : Namun dalam diskusi tidak diberikan teks haditsnya & nomor hadits tersebut. Mohon konfirmasi dari ustadz, apakah hadits yang bermakna seperti ini ada atau tidak dalam shohih al-Bukhori?)
4. Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rohimahulloh yang teks terjemahannya ada di link : http://www.alfurqon.co.id/busana-muslimah-dengan-bordir-dan-renda/
5. Fatwa syaikh Ali bin Hasan al-Halabi yang mengatakan bahwa batasan perhiasan adalah tergantung ‘urf masing-masing daerah. [Bila diperlukan, file rekamannya bisa kami kirimkan via email(?)]
6. Penjelasan Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shohih Fiqhis Sunnah lin Nisaa’ II/147-149.
7. Berpakaian hitam atau warna gelap memang memiliki kecenderungan untuk tersamarkan dari pandangan, akan tetapi berpakaian motif pun bisa membuat kita tersamar dari pandangan. Yang terpenting adalah bagaimana kita berpakaian, bukan seperti apa pakaian kita.
8. Tidak ada dalil shohih & shorih yang melarang baru bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis untuk dipakai wanita dewasa di luar rumahnya di hadapan non mahrom.
Yang tidak membolehkan berhujjah/ beralasan:

1. Keumuman firman Alloh ta’ala :

“dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka…” (QS. an-Nur : 31)
“Tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” [QS. Al-Ahzab : 33]

Sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam:

“Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, setan terus memandanginya (untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah).” (Dishahihkan syaikh Al-Albani dalam ShahihAt-Tirmidzi , dan syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)
2. Motif/ renda/ bordir/ garis-garis/ batik tersebut termasuk perhiasan. Bahkan secara ‘urf pun jika kita bertanya pada orang-orang :“apa tujuan dibuatnya motif/renda/bordir dll tersebut di pakaian yang asalnya polos?”, akan dijawab : “supaya indah”, “untuk hiasan”, dan yang semisal itu. Dan secara bahasa pun (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia / KBBI online) motif/ renda/ bordir juga disifati sebagai hiasan.

Jika kalung kita sebut sebagai perhiasan leher, gelang adalah perhiasan tangan, anting adalah perhiasan telinga, lipstik adalah perhiasan bibir, maka kita juga bisa sebut motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis adalah perhiasan pada baju.
Sedangkan salah satu syarat jilbab yang syar’i yang disebutkan oleh para ulama adalah bahwa pakaian tersebut bukanlah perhiasan & ia berfungsi untuk menutupi perhiasan, sehingga tidak masuk akal apabila jilbab yang dikenakan itu sendiri berupa perhiasan.
3. Dan memakai pakaian warna polos yang tidak mencolok di mata masyarakat tidak bisa dikatakan menyelisihi ‘urf, jadi untuk sesuai dengan ‘urf tidak harus dengan menghiasi pakaian dengan motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis.
4. Fatwa Lajnah Da’imah nomor 21352, tetanggal 9/3/1421 H tentang “model aba’ah yang di syari’atkan untuk wanita”, yang beranggotakan : Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh Sholeh al-Fauzan dan Syaikh Bakr Abu Zaid.
Di antara kriteria yang disebutkan adalah:

رابعا: ألا يكون فيها زينة تلفت إليها الأنظار، وعليه فلا بد أن تخلو من الرسوم والزخارف والكتابات والعلامات.
“Keempat : Tidak diberi hiasan-hiasan yang dapat menarik perhatian mata. Oleh karena itu harus polos dari gambar, pernak-pernik, dan tulisan-tulisan, maupun simbol-simbol”.
5. Dinukil pula pendapat Syaikh Amr Abdul Mun’im Salim dalam terjemahan kitabnya “Ahkamuz Ziinah lin Nisaa’” ketika menjelaskan syarat “Pakaian tersebut tidak berfungsi sebagai perhiasan”, setelah membawakan Surat an-Nuur ayat 31 beliau menjelaskan :
“Hendaklah pakaian tersebut tidak bercorak (bermotif) atau bergambar atau berwarna warni lebih dari satu warna dan dibordir. Semua itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh kaum wanita di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.”
6. Hadits Ummu Kholid rodhiyallohu anha terjadi ketika Ummu Kholid masih kecil (bahkan masih digendong), sehingga tidak tepat jika meng-qiyas-kan hukumnya untuk wanita dewasa. Dan beralasan “Nabi tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah kemaksiatan” tidak tepat karena banyak ihtimal lainnya, seperti :
Karena kain itu bercorak, maka Nabi memberikannya kepada anak kecil karena mereka belum mukallaf & tidak terkena hukum berhias.
7. Membolehkan motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis pada pakaian akhwat akan membuka pintu tabarruj, sedangkan agama kita mengenal kaidah Saddu adz-Dzari’ah.
Mohon tarjih & nasehat ustadz dalam masalah ini dan mohon penjelasan bagaimana batasan ‘urf yang bisa digunakan dalam masalah pakaian muslimah ini?
Demikian pertanyaan ini kami buat sejelas-jelasnya. Besar harapan kami ustadz bersedia menjawab pertanyaan ini.
Jazakumullohu khoiron.
Ummu Shofiyyah [mailto:ummu.shofi@yahoo.com]
Jawab:

Bismillah. waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Yang ana yakini bahwa pakaian bermotif tidak boleh digunakan oleh wanita muslimah ketika dia keluar rumah, karena dia termasuk zinah (perhiasan), sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk tidak menampakkan perhiasan kecuali kepada mahram.

Sebagaimana yang sudah dimaklumi bahwa para muslimah diwajibkan untuk berhijab, dan berhijab ini lebih umum maknanya daripada sekedar berjilbab atau bercadar atau menutupi seluruh anggota tubuhnya.
Akan tetapi berhijab yang syar’i adalah seorang wanita menutupi seluruh tubuhnya serta perhiasannya, yang dengannya semua non mahram tidak bisa melihat sedikit pun dari tubuh dan perhiasannya.
Sekarang masalahnya, yang mana yang termasuk perhiasan?

Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirasah Al-Fadhilah pada pembahasan ‘Hijab yang bersifat khusus’ menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan zinah (perhiasan) pada firman Allah Ta’ala,
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,” (QS. An-Nur: 31) adalah semua yang dipakai berhias oleh wanita, selain dari asal penciptaannya (postur tubuhnya), atau dinamakan az-zinah al-muktasabah (hiasan yang bisa diusahakan).

Maksudnya: Tubuh wanita adalah perhiasan akan tetapi tidak bisa diusahakan adanya, karena memang asal penciptaannya seperti itu.

Selain dari tubuhnya, yang juga diperintahkan untuk disembunyikan adalah perhiasan yang bisa diusahakan, yaitu segala sesuatu yang menarik pandangan orang selain dari anggota tubuhnya. Dan para ulama memberikan batasan dari zinah (perhiasan) adalah semua perkara yang menarik perhatian orang untuk melihatnya.
Jika ada yang bertanya: Bukankah pakaian luar (walaupun berwarna hitam) juga tetap dilihat oleh orang?

Jawab: Betul, karenanya seorang wanita dianjurkan untuk tidak sering keluar rumah agar pakaian luarnya pun tidak terlihat oleh orang lain.
Perlu diketahui bahwa pakaian luar asalnya termasuk perhiasan yang dilarang untuk diperlihatkan. Hanya saja berhubung terkadang wanita butuh keluar rumah karena ada keperluan maka pakaian luar pun Allah kecualikan dari hukum di atas dengan firman-Nya, “Kecuali yang nampak dari (perhiasan)nya.”
Jadi pembolehan menampakkan pakaian luar termasuk hukum dharurat, karena wanita kadang diizinkan keluar sementara tidak mungkin dia keluar tanpa berpakaian.
Termasuk dalam ayat ini adalah ketika tanpa disengaja pakaian luarnya tersingkap sehingga terlihat pakaian dalamnya (maksudnya rumah yang ada dibalik jubah atau jilbabnya), maka ini termasuk dalam ayat, “Kecuali yang nampak darinya,” yakni yang terlihat dalam keadaan tidak sengaja, bukan disengaja.
Kesimpulannya:
Kalau para ulama menghukumi pakaian luar termasuk perhiasan yang harus ditutup, sementara dia hanya diizinkan untuk dinampakkan karena idhthirar (keterpaksaan/tidak ada pilihan lain), maka bagaimana bisa seseorang menambahkan lagi hiasan (apapun motif dan coraknya) padanya yang menjadikan orang lain tambah tertarik untuk melihatnya.
Tentunya perbuatan ini termasuk dari perbuatan yang terlarang karena menjadikan jilbab luarnya (yang asalnya boleh dinampakkan secara dharurat) menjadi perhiasan yang tidak boleh dinampakkan.
Tambahan:

Melihat keterangan makna zinah (perhiasan) di atas, maka termasuk perhiasan yang harus disembunyikan oleh para wanita adalah: Tas atau dompetnya yang bisa menarik perhatian, sandal atau sepatu yang bentuk dan motifnya bisa menarik perhatian, kaus kaki atau kaus tangan yang bermotif, dan seterusnya. Wallahu Ta’ala a’lam.
Adapun dalil-dalil yang dibawakan oleh pihak yang membolehkan jilbab/jubah bermotif, maka jawabannya sebagai berikut berdasarkan nomor dalil:

1. Ucapan ini mengharuskan membolehkan semua pakaian yang haram boleh dipakai kalau memang pakaian itu banyak dipakai oleh orang lain. Kami katakan: Kenapa tidak sekalian melepaskan jilbab, toh yang tidak berjilbab lebih banyak di negeri ini dibandingkan yang berjilbab.

Kalau dia berkata: Pakaian masyarakat juga tetap harus mengikuti aturan syariat.
Kami katakan: Inilah yang kami inginkan. Walaupun pakaian bermotif bagi wanita ini adalah hal yang tersebar di negeri ini, akan tetapi ada syariat yang melarang wanita untuk menampakkan perhiasan. Dan sudah dijelaskan bahwa pakaian bermotif termasuk dari perhiasan. Wallahul muwaffiq.
2. Adapun hadits Ummu Khalid, maka seperti yang anti sebutkan bahwa Ummu Khalid ketika itu masih anak-anak sehingga diperbolehkan untuknya apa yang tidak diperbolehkan untuk wanita dewasa. Karenanya tidak bisa dikatakan bahwa beliau tidak melatih dan membiasakan anak kecil untuk bermaksiat karena itu bukanlah maksiat bagi dirinya.

Apakah dikatakan Nabi -alaihishshalatu wassalam- membiasakan anak kecil berbuat maksiat atau atau dikatakan beliau mengundurkan penjelasan ketika dibutuhkan, tatkala beliau membiarkan dua anak kecil memukul rebana sambil bernyanyi di hari id?
Apakah dikatakan Nabi -alaihishshalatu wassalam- membiasakan anak kecil berbuat maksiat atau atau dikatakan beliau mengundurkan penjelasan ketika dibutuhkan, tatkala beliau mengizinkan Aisyah bermain boneka berbentuk makhluk hidup?
Hasya wa kalla, sekali-kali tidak.

Jika dia mengatakan: Pembolehan anak kecil menyanyi di hari id dan bermain boneka ada dalil yang membolehkannya. Maka kami katakan: Memakai pakaian bermotif bagi anak kecilpun ada dalil yang membolehkan. Karenanya masalahnya jangan dicampuradukkan.
3.Haditsnya diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Hajj, Bab: Para wanita tawaf dengan para lelaki, no. hadits 1618 (cet. Dar Al-Hadits), dari Atha’ dia berkata:

وَكُنْتُ آتِي عَائِشَةَ أَنَا وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهِيَ مُجَاوِرَةٌ فِي جَوْفِ ثَبِيرٍ قُلْتُ وَمَا حِجَابُهَا قَالَ هِيَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ لَهَا غِشَاءٌ وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذَلِكَ وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا مُوَرَّدًا
“Dan aku bersama ‘Ubaid bin ‘Umair pernah menemui ‘Aisyah radliallahu ‘anha yang sedang berada disisi gunung Tsabir. Aku (Ibnu Juraij) bertanya: “Hijabnya apa? Ia menjawab: “Dia berada di dalam sebuah tenda kecil. Tenda itu memiliki penutup dan tidak ada pembatas antara kami dan beliau selain penutup itu, dan aku melihat beliau mengenakan gamis berwarna mawar”.
Sudah dimaklumi bersama bahwa seorang salafi tidaklah memahami sebuah hadits hanya berdasarkan terjemahannya, akan tetapi dia diharuskan untuk merujuk kepada syarah para ulama terhadap hadits tersebut.

Dan kelihatannya kesalahpahaman mereka memahami hadits ini untuk membolehkan pakaian bermotif juga lahir karena mereka hanya berlandaskan pada terjemahan biasa dan tidak merujuk kepada ucapan para ulama terhadap hadits ini.

Kami katakan: Tidak ada sedikit pun sisi pendalilan dalam kisah bagi yang membolehkan pakaian yang bermitif. Ini bisa ditinjau dari beberapa sisi:

1. Makna kalimat dir’an muwarradan dalam kisah di atas bukanlah jubah bermotif mawar sebagaimana yang diterjemahkan oleh sebagian penerjemah. Akan tetapi maknanya sebagaimana yang Al-Hafizh Ibnu Hajar terangkan, “Warnanya warna mawar,” yakni berwarna merah.

Karenanya terjemahan yang anti sebutkan bahwa: [Ummul Mukminin 'Aisyah rodhiyallahu 'anha pernah mengenakan pakaian berwarna merah dengan "corak mawar" ketika sedang melakukan ihrom di Makkah] adalah tidak tepat. Lagi pula kisah ini tidak terjadi di Makkah akan tetapi terjadi di bukit dekat Muzdalifah.

2. Al-Hafizh menyebutkan lafazh ucapan Atha’ dalam riwayat Abdurrazzaq, “Pakaian yang berwarna, dan ketika itu saya masih kecil.” Al-Hafizh berkata, “Maka Atha’ menjelaskan sebab dia bisa melihat Aisyah,” yakni: Atha’ bisa melihat pakaian Aisyah dan Aisyah mengizinkan dia melihatnya karena Atha` waktu itu masih kecil.
Dan tidak mengapa seorang wanita menampakkan perhiasannya kepada anak kecil. Itupun kita katakan Aisyah sengaja menampakkannya, akan tetapi yang Nampak beliau tidak sengaja menampakkannya, dengan dalil adanya hijab di antara mereka.

3. Al-Hafizh juga menambahkan, “Ada kemungkinan dia tidak sengaja melihat baju yang beliau kenakan.” Dan ketidaksengajaan tidak boleh dijadikan dalil pembolehan sesuatu yang dikerjakan dengan sengaja.
(Fathul Bari: 3/545, cet. Dar Al-Hadits)
4. Bagaimana bisa ucapan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin ini dijadikan pendukung bagi yang membolehkan wanita memakai pakaian bermotif, sementara ucapan beliau tegas sekali melarangnya. Beliau mengatakan, “Apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah yang ditanyakan, maka kami mengatakan bahwa hukum asal pakaian itu dibolehkan, akan tetapi apabila terdapat hiasan- hiasan bordir itu menarik perhatian bagi yang melihatnya, maka kami melarangnya bukan karena pakaian itu haram, tetapi karena pakaian itu menimbulkan fitnah.”
5. Kami tidak tahu fatwa Syaikh Ali Hasan tersebut, tapi kalau memang beliau mengataka bahwa batasan perhiasan adalah tergantung ‘urf masing-masing daerah. Maka tidak ada masalah, kita katakan: Renda atau corak pada bordir dan semacamnya menurut urf orang Indonesia adalah hiasan. Silakan tanya kepada siapa saja yang ingin mengenakan/menambahkan bordiran pada pakaiannya, apa tujuannya? Kira-kira apa tanggapan para wanita awam yang punya bordiran/motif pada pakaiannya tatkala dia disuruh untuk menghilangkan/membuang bordiran/motif itu?

Jawabannya tentu: Saya pasang itu untuk memperindah pakaian, dan saya tidak mau menghilangkannya karena akan memperjelek pakaian atau akan membuatnya kurang menarik.
Bukankah sesuatu yang indah dan menarik perhatian pada wanita termasuk zinah (perhiasan) syar’i yang harus disembunyikan???
6. Pada kitab Shahih Fiqhus Sunnah cet. Al-Maktabah At-Taufiqiah, pembahasan ini terdapat pada jilid 3 hal. 33-34.
Di sini Abu Malik Kamal -jazahullahu khairan- hanya menyebutkan masalah bolehkah wanita memakai pakaian selain warna hitam?

Itupun di akhir pembahasan beliau menyebutkan bahwa yang dibolehkan hanya yang satu warna polos. Adapun yang terdiri dari dua warna atau lebih dalam satu kain maka itu termasuk pakaian yang dilarang karena akan membentuk suatu motif.

Apa yang beliau sebutkan ini sejalan dengan nukilan yang anti sebutkan dari Amr bin Abdil Mun’im Salim, “Hendaklah pakaian tersebut tidak bercorak (bermotif) atau bergambar atau berwarna warni lebih dari satu warna dan dibordir. Semua itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh kaum wanita di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.”
Dan kami sependapat dengan mereka berdua di atas, berdasarkan dalil-dalil yang mereka bawakan.

Jadi penulis tidak menyinggung masalah pakaian bermotif atau berenda dan semacamnya. Tapi kelaziman dari definisi zinah (perhiasan) yang dia sebutkan, adalah dia harus menggolongkan renda/bordiran termasuk zinah yang harus untuk ditutup. Karena dia berkata ketika menafsirkan ayat 31 dari surah An-Nur, “Perhiasan di sini secara umum mencakup pakaian luar jika pakaian luar itu dihiasai dan menarik para lelaki untuk melihatnya.”
Bukankah ini kenyataan yang terjadi pada mereka yang memakai pakaian bermotif/berenda? Mata lelaki (yang ngaji maupun yang tidak) bisa tertarik untuk melihatnya -kecuali yang dirahmati oleh Rabbnya-.

Kemudian di akhir pembahasan beliau (Abu Malik) menyebutkan, “Apa yang telah kami bahas (berupa pembolehan memakai pakaian berwarna bagi wanita, pent.) tidak menghalangi untuk kita mengatakan bahwa yang pakaian yang paling utama dan lebih menutupi tubuh bagi wanita adalah yang berwarna hitam.”
Maka wahai muslimah yang mengharapkan keberuntungan dan pahala yang besar, apa yang menghalangi kalian untuk mengamalkan yang paling utama? Kenapa justru mengamalkan yang kurang utama dan meninggalkan yang lebih utama, hanya karena tidak enak dihadapan manusia??
Tambahan: Masalah warna pakaian ini, walaupun pada dasarnya wanita bisa memakai pakaian berwarna (sekali lagi bukan bermotif atau bordiran), maka di zaman ini apakah ada alim yang faham kaidah saddu adz-dzariah (menutup wasilah maksiat) yang akan mengatakan: Bolah seorang wanita memakai pakaian berwarna pink?

Padahal pink ini sudah identik dengan keindahan dan wanita. Bukankah kalau kita menerapkan ucapan Syaikh Ali Hasan di atas, pakaian pink ini juga termasuk zinah (perhiasan) yang harus ditutup?

Maka demikian pula yang kami katakan pada warna-warna lainnya. Kami katakan sebagaimana apa yang Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin katakan bahwa walaupun asalnya adalah mubah tapi dia bisa dilarang untuk dipakai tatkala dia dianggap sebagai perhiasan, wallahu a’lam.
7. Apa maksudnya ‘dengan berpakaian motif kita bisa tersamar dari pandangan’? Apa maksudnya dengan pakaian seperti itu kita bisa berbaur dengan masyarakat dan tidak tampak mencolok?

Kalau iya, kembali kami katakan: Kalau lebih tidak mau mencolok adalah dengan cara lepas jilbab, insya Allah tidak akan mencolok sama sekali.
Subhanallah, betapa anehnya pendalilan seperti ini. Bukankah Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menegaskan bahwa pengikut beliau di akhir zaman akan dianggap asing (berbeda dari yang lainnya). Lantas kenapa engkau wahai muslimah ingin agar kamu tidak dianggap mencolok (asing) di mata manusia?
8. Kalau maksudnya dalil shahih lagi sharih itu harus berbunyi, “Wahai wanita mukminah, janganlah kalian memakai pakaian bermotif,” atau berbunyi, “Wanita mana saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah mengenakan pakaian berenda,” dan semacamnya.
Maka hanya orang-orang awam atau orang bodoh yang mencari dalil shahih lagi sharih -semacam ini- dalam semua permasalahan dalam Islam.

Dalil yang shahih lagi sharih bagi kami adalah ayat yang melarang wanita menampakkan perhiasannya. Dalil yang shahih lagi sharih bagi kami adalah dalil yang melarang wanita melalui kaum lelaki dengan memakai apa saja yang membuatnya menarik, baik itu parfum maupun pakaian bermotif. Bahkan pakaian bermotif ini lebih parah dari parfum, karena parfum hanya bisa dinikmati oleh orang yang ada di sekitar wanita itu, sementara pakaian yang menarik pandangan bisa dinikmati dan ditonton oleh orang yang berjarak 500 meter darinya (dengan menggunakan teropong tentunya).
Wallahu Ta’ala A’lam, wahuwa Yahdi ila sawa`is sabil.
Sumber:Al-Atsariyyah.com


Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)
“Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik (Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,.

Fiqih Tentang Masalah Wanita

Darah Wanita
Bagi kebanyakan wanita, haid dan nifas identik dengan tidak menjalankan shalat atau puasa. Padahal banyak hal lain yang juga perlu diketahui kaitannya dengan ibadah saat seorang wanita mendapatkan haid atau nifas.
Saudariku muslimah…
Permasalahan darah yang keluar dari kemaluan wanita merupakan permasalahan yang penting. Butuh untuk diterangkan karena berkaitan dengan pelaksanaan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta`ala. Kita lihat kenyataan yang ada banyak wanita buta terhadap permasalahan yang justru lekat dengan dirinya ini. Karena itu pada tampilan perdana dalam rubrik ini kami coba menerangkan kepada pembaca seputar masalah ini secara ringkas, semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, amin… ! Dan semoga menjadi simpanan amal kebajikan bagi kami pada hari yang tidak bermanfaat lagi harta dan anak, kecuali hamba yang menemui Allah dengan hati yang selamat… !
Kami angkat permasalahan ini dengan menerjemahkan secara ringkas kitab yang disusun oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berjudul “Risalah fid Dima Ath Thabi`iyyah Lin Nisa’ disertai dengan tambahan dari sumber yang lain .
Saudariku Muslimah…
Wanita dengan kodratnya yang ditentukan dengan keadilan Illahi mengalami masa-masa di mana ia mendapatkan darah keluar dari organnya yang khusus. Darah tersebut bisa jadi menahan dia dari melaksanakan ibadah shalat dan puasa, dan bisa pula ia tetap dibolehkan shalat dan puasa karena darah tersebut tidak mengeluarkan dirinya dari hukum wanita yang suci.
Adapun darah yang biasa keluar dari kemaluan wanita adalah darah haid, istihadhah dan darah nifas. Untuk yang awal, kami akan menyinggung masalah haid.

Haid

Secara bahasa, haid adalah mengalirnya sesuatu. Adapun pengertiannya yang syar`i, haid adalah darah yang keluar pada waktu-waktu tertentu dari organ khusus wanita secara alami tanpa adanya sebab, bukan karena sakit, luka atau keguguran atau selesai melahirkan. Haid ini keadaannya berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing wanita.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah kapan usia awal seorang wanita mengalami haid. Berkata Ad Darimi rahimahullah setelah menyebutkan perselisihan yang ada: “Semua pendapat ini menurutku salah! Karena yang menjadi rujukan dalam semua itu adalah adanya darah. Maka pada keadaan dan umur berapa saja didapatkan adanya darah yang keluar dari kemaluan maka itu harus dianggap darah haid, wallahu a`lam”.
Pendapat Ad Darimi yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah ini dibenarkan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin karena hukum haid dikaitkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan adanya darah tersebut. Allah dan Rasul-Nya tidak memberi batasan umur tertentu, maka wajib mengembalikan hal ini kepada ada tidaknya darah, bukan batasan umur .
Dalam permasalahan lamanya masa haid juga ada perselisihan pendapat. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Berkata sekelompok ulama: “Tidak ada batasan minimal dan tidak pula batasan maksimal hari haid“. Pendapat ini yang dibenarkan Syaikh Ibnu Utsaimin dengan dalil-dalil sebagai berikut:
Pertama, Allah Ta`ala berfirman :
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhi para istri ketika mereka sedang haid dan jangan kalian mendekati mereka hingga mereka suci dari haid“. (Al Baqarah: 222)
Dalam ayat di atas Allah menjadikan batasan larangan menyetubuhi istri yang sedang haid adalah sampai selesainya haid (suci), bukan batasan hari. Jadi hukum haid berlaku selama ada darah yang keluar berapapun lama waktunya.
Kedua, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang haid saat ia sedang melakukan ibadah haji :
Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjadikan batasan larangan thawaf sampai suci dari haid dan beliau tidak menetapkan batasan bilangan hari tertentu, jadi patokannya ada tidaknya darah.
Ketiga, batasan-batasan yang disebutkan oleh para fuqaha dalam masalah ini tidak ada dalilnya dalam Al Qur’an dan tidak pula dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam Padahal hal ini sangat perlu untuk diterangkan bila memang harus ada pembatasan.
Keempat, banyaknya perbedaan dan pertentangan pendapat dari mereka yang membuat batasan. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang dapat dituju, namun ini sekedar ijtihad yang bisa benar dan bisa salah.
Dengan demikian, setiap kali wanita melihat darah keluar dari kemaluan bukan disebabkan luka atau semisalnya maka darah tersebut darah haid tanpa ada batasan waktu dan umur. Kecuali bila darah itu keluar terus menerus tidak pernah berhenti atau berhenti hanya sehari dua hari dalam sebulan maka darah itu adalah darah istihadhah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Pada asalnya setiap darah yang keluar dari rahim adalah darah haid sampai tegak bukti bahwa darah itu adalah istihadhah“.

Haidnya Wanita Hamil

Apakah wanita hamil mengalami haid? Secara umum apabila wanita hamil ia akan terhenti dari haidnya. Namun ada di antara wanita hamil yang tetap keluar darah dari kemaluannya pada masa-masa haidnya, dan ini dihukumi sebagai darah haid karena tidak ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah yang menyebutkan mustahilnya haid bagi wanita hamil. Ini adalah pendapatnya Imam Malik , Syafi’i, dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.

Kejadian Haid

Ada beberapa macam kejadian haid.
Pertama, bertambah atau berkurang waktunya. Misalnya seorang wanita kebiasaan haidnya enam hari. Suatu ketika darah yang keluar berlanjut sampai hari ketujuh. Atau kebiasaan haidnya enam hari namun belum berjalan enam hari haidnya berhenti.
Kedua, terlambat atau maju dari jadwal yang ada. Misal kebiasaan haid seorang wanita jatuh pada akhir bulan, namun suatu ketika ia melihat darah haidnya keluar pada awal bulan, atau sebaliknya.
Terhadap dua keadaan di atas terjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Namun yang benar, kapan saja seorang wanita melihat keluarnya darah maka ia haid. Dan kapan ia tidak melihat darah berarti ia suci, sama saja apakah waktu haidnya bertambah atau berkurang dari kebiasaannya, dan sama saja apakah waktunya maju atau mundur. Ini merupakan pendapatnya Imam Syafi`i dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah.
Ketiga, warna kekuningan atau keruh yang keluar dari kemaluan. Apabila cairan ini keluarnya pada masa haid atau bersambung dengan masa haid sebelum suci maka dihukumi sebagai darah haid. Namun bila keluarnya di luar masa haid, cairan tersebut bukan darah haid. Ummu `Athiyah radliallahu’anha mengabarkan: “Kami dulunya tidak mempedulikan sedikitpun cairan yang keruh dan cairan kuning yang keluar setelah suci dari haid”. (HR. Abu Daud. Diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya namun tanpa lafaz “setelah suci”. Akan tetapi beliau memberi judul untuk hadits ini dengan Bab “Cairan kuning dan keruh yang keluar pada selain hari-hari haid”.)
Keempat, keringnya darah di mana si wanita hanya melihat sesuatu yang basah (ruthubah) seperti lendir dan semisalnya. Kalau ini terjadi pada masa haid atau bersambung dengan waktu haid sebelum masa suci maka ia terhitung haid. Bila di luar masa haid maka ia bukan darah haid, sebagaimana keadaan cairan kuning atau keruh.

Hukum-Hukum Haid

Banyak sekali hukum-hukum yang berkaitan dengan haid namun karena terbatasnya ruang maka kami mencukupkan dengan apa yang kami sebutkan berikut ini:

Shalat dan Puasa

Wanita haid diharamkan untuk mengerjakan shalat dan puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengabarkan hal ini ketika ada wanita yang mempertanyakan keberadaan kaum wanita yang dikatakan kurang agama dan akalnya, beliau bersabda :
Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka itulah yang dikatakan setengah agamanya“. (HR. Bukhari dalam shahihnya no. 304, 1951 dan Muslim no. 79)
Adapun puasa wajib (Ramadlan) yang dia tinggalkan harus dia qadha (ganti) di hari yang lain saat suci, sedangkan shalat tidak ada kewajiban untuk mengqadhanya, berdasarkan hadits Aisyah radliallahu’anha, ketika ada yang bertanya kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadla shalatnya bila telah suci dari haid ?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi shallallahu alaihi wasallam. Beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat“. (HR. Bukhari no. 321)
Dalam riwayat Muslim Aisyah mengatakan: “Kami dulunya ditimpa haid maka kami hanya diperintah mengqadha puasa dan tidak diperintah untuk mengqadha shalat“. (HR. Muslim no. 69)

Thawaf di Baitullah

Wanita haid diharamkan untuk thawaf di Ka`bah baik thawaf yang wajib maupun yang sunnah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radliallahu anha yang ditimpa haid saat sedang melakukan amalan haji :
Lakukanlah semua yang diperbuat oleh orang yang berhaji. Namun jangan engkau thawaf di Ka`bah hingga engkau suci” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 4, hal. 30, Syarah Nawawi)
Adapun amalan haji yang lain seperti sa`i, wuquf di Arafah, dan sebagainya tidak ada keharaman untuk dikerjakan oleh wanita yang haid.

Jima’ (bersetubuh)

Diharamkan bagi suami untuk menggauli istrinya yang sedang haid pada farji (kemaluannya) dan diharamkan pula bagi istri untuk memberi kesempatan dan memperkenankan suaminya untuk melakukan hal tersebut. Karena Allah ta`ala berfirman:
“…maka jauhilah (tidak boleh jima`) oleh kalian para istri ketika haid dan janganlah kalian mendekati mereka (untuk melakukan jima`) hingga mereka suci“. (Al Baqarah: 222)
Selain jima`, dibolehkan bagi suami untuk melakukan apa saja terhadap istrinya yang sedang haid karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (yakni jima`)“. (HR. Abu Daud no. 2165, dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam kitab beliau “Shahih Sunan Abi Daud” no. hadits 1897)

Talak

Ketika istri sedang haid, haram bagi suaminya untuk mentalaknya berdasarkan firman Allah ta`ala:
Wahai Nabi, apabila kalian hendak menceraikan para istri kalian maka ceraikanlah mereka pada saat mereka dapat (menghadapi) iddahnya…”. ( Ath Thalaq: 1)
Ibnu Abbas radliallahu’anhuma menafsirkan: “Tidak boleh seseorang menceraikan istrinya dalam keadaan haid dan tidak boleh pula ketika si istri dalam keadaan suci namun telah disetubuhi dalam masa suci tersebut. Akan tetapi bila ia tetap ingin menceraikan istrinya maka hendaklah ia membiarkannya (menahannya) sampai datang masa haid berikutnya lalu disusul masa suci, setelah itu ia bisa menceraikannya”. (Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Jadi bila talak hendak dijatuhkan maka harus pada masa suci si wanita (tidak dalam keadaan haid) dan belum disetubuhi ketika suci tersebut. Demikian hal ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Atha’, Mujahid, Al Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun bin Mihran dan Muqatil bin Hayyan. (Lihat Tafsirul Qur’anil Adhim 4/485)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan: “Ada tiga keadaan yang dikecualikan dalam pengharaman talak ketika istri sedang haid (yakni boleh mentalaknya walaupun dalam keadaan haid):
Pertama, apabila talak dijatuhkan sebelum ia berduaan dengan si istri atau sebelum ia sempat bersetubuh dengan si istri setelah atau selama nikahnya. Dalam keadaan demikian tidak ada `iddah bagi si wanita dan tidak haram menceraikannya dalam masa haidnya.
Kedua, apabila haid terjadi di waktu istri sedang hamil karena lamanya `iddah wanita hamil yang dicerai suaminya adalah sampai ia melahirkan anak yang dikandungnya bukan dihitung dengan masa haidnya. Allah ta`ala berfirman :
Wanita-wanita yang hamil masa iddahnya adalah sampai mereka melahirkan anak yang dikandungnya“. (Ath Thalaq: 4)
Ketiga, apabila talak dijatuhkan dengan permintaan istri dengan cara ia menebus dirinya dengan mengembalikan sesuatu yang pernah diberikan suaminya atau diistilahkan khulu`.
Hal ini dipahami dari hadits Ibnu Abbas radliallahu’anhuma dalam shahih Bukhari (no. 5273, 5374, 5275, 5276). Disebutkan bahwasanya istri Tsabit bin Qais bin Syamas datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam lalu menyatakan keinginannya untuk berpisah dengan suaminya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyuruhnya untuk mengembalikan kebun yang pernah diberikan kepadanya dan memerintahkan Tsabit untuk menerima pengembalian tersebut dan menceraikan istrinya. Dalam hadits ini Nabi sama sekali tidak menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia dalam keadaan haid atau tidak.

Masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya

Perhitungan masa iddah wanita yang bercerai dari suaminya dalam keadaan ia tidak hamil adalah dengan tiga kali haid, berdasarkan firman Allah ta`ala :
Wanita-wanita yang ditalak suaminya hendaklah menahan diri mereka (menunggu) selama tiga quru…” ( Al Baqarah: 228)

Mandi Haid

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy radliallahu’anha :
Tinggalkanlah shalat sekadar hari-hari yang engkau biasa haid padanya, dan jika telah selesai haidmu mandilah dan shalatlah“. (HR. Bukhari no. 325)
Yang wajib ketika mandi ini adalah minimal meratakan air ke seluruh tubuh hingga pokok rambut. Dan yang utama melakukan mandi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika beliau ditanya oleh seorang wanita Anshar tentang tata cara mandi haid. Beliau sebagaimana dikabarkan Aisyah bersabda :
Ambillah secarik kain yang diberi misik (wewangian) lalu bersucilah dengannya”. Wanita itu bertanya: “Bagaimana cara aku bersuci dengannya ?” Nabi menjawab : “Bersucilah dengannya”. Wanita itu mengulangi lagi pertanyaannya. Nabi menjawab: “Subhanallah, bersucilah”. Aisyah berkata: Maka aku menarik wanita tersebut ke dekatku lalu aku katakan kepadanya: “Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut“. (HR. Bukhari no. 314, 315 dan Muslim no. 60)
Atau lebih lengkapnya dalam riwayat Muslim (no. 61) bahwasanya Asma bintu Syakl bertanya tentang tata cara mandi haid maka beliau Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
Salah seorang dari kalian mengambil air dan daun sidr (bidara) lalu ia bersuci dan membaguskan bersucinya. Kemudian ia tuangkan air ke kepalanya dan ia gosok dengan kuat hingga air tersebut sampai ke akar-akar rambutnya, kemudian ia tuangkan air ke atasnya. Kemudian ia ambil secarik kain yang diberi misik lalu ia bersuci dengannya…”. (HR. Muslim no. 61)
Apabila wanita haid telah suci dari haidnya di tengah waktu shalat yang ada, wajib baginya untuk segera mandi agar ia dapat menunaikan shalat tersebut pada waktunya. Apabila ia sedang safar dan tidak ada air padanya atau ada air namun ia khawatir bahaya bila memakainya atau ia sakit yang akan berbahaya bila ia memakai air, maka cukup baginya bertayammum sebagai pengganti mandi hingga hilang darinya udzur. Wallahu a`lam bishawwab. Demikian pembahasan haid secara ringkas yang dapat kami persembahkan untukmu Muslimah….!
Dikutip dari: http://www.asysyariah.com

Subscribe via email