Salah satu doktrin utama dalam agama
Islam adalah bahwa semua utusan Allah itu maksum. Artinya semua tindak
langkah para Rasul itu steril dari kesalahan. Setiap apa yang
disampaikannya pasti benar sebab peluang kesalahan telah ditutup rapat.
Amaliah yang mereka lakukan hanya terbatas pada pekerjaan yang
berhukum wajib dan sunat, tidak sampai pada ranah mubah, apalagi makruh
dan haram.
Semua itu, sekali lagi, merupakan
pemahaman-pemahaman aksiomatis dalam Islam dan benar adanya. Namun
masalah yang muncul kemudian adalah, bahwa secara eksplisit dan
implisit ternyata al-Quran menyebutkan jika Nabi Muhammad beberapa kali
melakukan ‘kesalahan’. Di antara kesalahan-kesalahan tersebut adalah
sebagai berikut :
Pertama, ketika Abdullah Bin Ubai Bin Salul, pentolan orang-orang munafik, meninggal, Rasulullah menyalati dan mendoakannya. Oleh sebab itu lalu Allah menegurnya: “Janganlah sekali-kali kamu menyalati (jenazah) seorang yang mati dari mereka (munafik), dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di atas kuburan mereka. Sesungguhnya mereka telah kafir pada Allah dan utusannya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS At-Taubah [09]: 84).
Pertama, ketika Abdullah Bin Ubai Bin Salul, pentolan orang-orang munafik, meninggal, Rasulullah menyalati dan mendoakannya. Oleh sebab itu lalu Allah menegurnya: “Janganlah sekali-kali kamu menyalati (jenazah) seorang yang mati dari mereka (munafik), dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di atas kuburan mereka. Sesungguhnya mereka telah kafir pada Allah dan utusannya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS At-Taubah [09]: 84).
Kedua, Nabi Muhammad pernah
mengharamkan madu dan budak perempuannya untuk diri beliau sendiri yang
notabenenya dihalalkan oleh Allah. Karena itu Allah menegur beliau
dengan firman-Nya berikut: “Wahai Nabi (Muhammad), mengapa kamu
mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah padamu. Kamu ingin
menyenangkan hati istri-istrimu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (QS At-Tahrim [66]: 4).
Ketiga, Nabi Muhammad memberi
toleransi kepada orang-orang munafik untuk tidak mengikuti perang
Tabuk, lalu Allah menegur beliau melalui firman-Nya: “Semoga Allah
memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin (untuk tidak mengikuti perang
Tabuk) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar uzur
(berhalangan) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (QS At-Taubah [09]: 43).
Keempat, Nabi Muhammad mendapat
teguran dari Allah atas kebijakan beliau mengambil tebusan dari para
tawanan perang Badar. Allah berfirman yang artinya: “Tidak pantas
bagi seorang Nabi mempuyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuh-musuhnya di muka bumi. Kau menghendaki harta duniawi sedang Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu), dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Penyayang.” (QS Al-Anfal [08]: 68).
Kelima, pada peristiwa perang
Uhud Nabi Muhammad mengalami luka-luka yang cukup parah, sedangkan
orang-orang Islam banyak yang melarikan diri, sehingga beliau emosi dan
berkata “Akankah selamat suatu kaum jika melakukan hal seperti ini
pada nabinya?!” Lalu Allah menegur beliau: “Tidak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka.” (QS Ali Imran [03]: 128)
Dari lima fakta yang dipaparkan dalam
al-Qur’an di atas, tentu saja secara awam dapat dipahami jika
Rasulullah ternyata pernah melakukan sejumlah ‘kesalahan’. Dengan
demikian di sini jelas terjadi kontradiksi antara sifat maksum yang
harus ada pada setiap Rasul dan ‘kesalahan-kesalahan’ yang telah
dipaparkan di atas. Lalu bagaimana kita memahami dan menaggapi
kenyataan ini?
Rasulullah juga manusia, jadi tidak bisa terlepas dari sifat-sifat yang manusiawi (al-A‘râdhul-Basyariyah).
Beliau makan, minum, tidur, sakit, gembira, susah dan lain sebagainya.
Sebagai manusia, beliau juga bisa ‘lupa’ dan ‘salah’.
Kejadian-kejadian di atas merupakan refleksi dari al-a‘râdhul-basyariyah
beliau. Namun kemudian timbul pertanyaan: apakah hal tersebut tidak
bertolak belakang dengan sifat maksum yang dimiliki oleh Nabi Muhammad?
Jawabannya tentu “sama sekali tidak”. Bahkan sebaliknya, hal tersebut
justru semakin mengukuhkan sifat kemaksuman beliau.
Kalau kita cermati kejadian-kejadian di
atas secara spesifik, maka akan kita dapati bahwa setiap kali
Rasulullah melakukan ‘kesalahan’, pasti Allah akan menegurnya. Hal
tersebut sama sekali tidak merusak konsep maksum yang melekat pada
beliau, namun justru semakin menguatkan pemahaman bahwa setiap apa yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad pasti benar dan terbebas dari setiap
bentuk kesalahan. Sebab setiap kali beliau melakukan ‘kesalahan’ pasti
akan ada teguran langsung dari Allah, sehingga beliau akan segera
meralat ‘langkah salah’ tersebut.
Dari fakta-fakta empiris di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa konsep maksum yang ada pada diri para Rasul
bukan berarti mereka tidak pernah salah. Akan tetapi ketika mereka
melakukan kesalahan, maka akan datang teguran dan peringatan langsung
dari Allah dan mereka akan segera memperbaiki kesalahan tersebut.
Sebuah rumah dikatakah bersih, bukan berarti rumah tersebut tidak
pernah kotor. Tapi ketika ada kotoran maka segera dibersihkan.
Hal yang perlu dicatat di sini adalah
bahwa dibalik ‘kesalahan-kesalahan’ yang diperbuat para Rasul terdapat
banyak hikmah. Di antaranya, kesalahan tersebut merupakan bagian dari
proses Tasryî‘ul-Ahkâm (pemberlakuan suatu hukum) dan dalam rangka memberi contoh berijtihad.
Juga perlu diingat, standard kesalahan
pada diri para Rasul tidak sama dengan standard manusia pada umumnya.
Suatu perbuatan yang dianggap wajar jika dilakukan manusia biasa, bisa
jadi perbuatan tersebut salah jika dinisbatkan kepada para Rasul.
Sebagai contoh peristiwa dalam perang uhud. Tentu sangat manusiawi jika
seseorang emosi ketika mengalami hal sebagaimana dialami oleh Rasul
tadi. Tapi karena yang melakukannya adalah seorang Nabi, maka hal
tersebut dianggap suatu kesalahan. “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah terdapat teladan yang baik bagimu.” (QS Al-Ahzab [33]: 21)
No comments:
Post a Comment