Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ
وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ
سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
'Innalhamdalillaah, nahmaduhu wanasta’inuhu, wanastaghfiruh.
Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay yiati a’malina, may
yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala hadziyalah. Asyhadu
alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna muhammadan
‘abduhu warosuluh.Salallahu'alaihi wa 'ala alihi wa sahbihi wa man
tabi'ahum bi ihsanin illa yaumiddiin'.
Fainna ashdaqal hadits
kitabaLLAH wa khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu'alaihiwassalam, wa
syarral ‘umuri muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu
bid’atin dhalalah wa kullu dhalalatin fin nar…
Ammaba’du
A.Pakaian Wanita Dalam Islam
Allah Ta’ala berfirman:
وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah
kepada wanita-wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan
dan kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,
kecuali yang (terpaksa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan khimar ke dada-dada mereka.” (QS. An-Nur: 31)
Perhiasan yang dimaksud adalah perhiasan yang digunakan oleh wanita untuk berhias, selain dari asal penciptaannya (tubuhnya).
Khimar adalah sesuatu yang digunakan oleh wanita untuk menutupi kepalanya, wajahnya, lehernya, dan dadanya.
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
جَرَّ ثَوْبَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ تَصْنَعُ النِّسَاءُ
بِذُيُولِهِنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ شِبْرًا قَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفَ
أَقْدَامُهُنَّ قَالَ تُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا تَزِدْنَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa
yang memanjangkan kainnya karena sombong maka Allah tidak akan
melihatnya.” Ummu Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang harus
dilakukan oleh para wanita dengan ujung pakaian mereka?” Beliau
menjawab, “Kalian boleh memanjangkannya sejengkal.” Ummu Salamah
bertanya lagi, “Jika begitu, maka kaki mereka akan terbuka!” Beliau
menjawab, “Kalian boleh menambahkan satu hasta dan jangan lebih.” (HR. At-Tirmizi no. 1731 dan An-Nasai no. 5241)
Sehasta adalah dari ujung jari tengah hingga ke siku.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ
كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ
عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ
رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada
dua golongan penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat: (1)
Kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang dipergunakannya
untuk memukul orang. (2) Wanita-wanita yang berpakaian tetapi
telanjang, berjalan dengan berlenggok-lenggok, mudah dirayu atau suka
merayu, rambut mereka (disasak) bagaikan punuk unta. Wanita-wanita
tersebut tidak dapat masuk surga, bahkan tidak dapat mencium bau surga.
Padahal bau surga itu dapat tercium dari begini dan begini.” (HR. Muslim no. 2128)
Makna
‘berpakaian tetap telanjang’ adalah: Dia menutup sebagian auratnya
tapi menampakkan sebagian lainnya. Dan ada yang menyatakan maknanya
adalah: Dia menutupi seluruh auratnya tapi dengan pakaian yang tipis
sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Lihat Syarh Muslim: 14/356
Penjelasan ringkas:
Ketiga dalil di atas menunjukkan wajibnya seorang muslimah untuk berhijab.
Hijab
secara syar’i adalah seorang wanita menutupi seluruh tubuhnya dan
perhiasannya, yang dengan hijab ini dia menghalangi orang asing (non
mahram) untuk melihat sedikitpun dari bagian tubuhnya atau perhiasan
yang dia pakai. Dan hijab ini bisa berupa pakaian dan bisa juga berupa
berdiam di dalam rumah.
Adapun
menutup seluruh tubuh maka ini mencakup wajah dan kedua telapak
tangan. Ini ditunjukkan dalam surah An-Nur di atas dari beberapa sisi:
1.
Allah memerintahkan untuk kaum mukminin untuk menundukkan pandangan
mereka dari yang bukan mahram mereka. Dan menundukkan pandangan tidak
akan sempurna kecuali jika wanita tersebut berhijab dengan hijab yang
sempurna menutupi seluruh tubuhnya. Sementara tidak diragukan lagi
bahwa menyingkap wajah merupakan sebab terbesar untuk memandang ke
arahnya.
2. Allah Ta’ala
melarang untuk memperlihatkan sedikitpun dari perhiasan luarnya kepada
non mahram, kecuali terlihat dalam keadaan terpaksa karena tidak bisa
disembunyikan, semisal pakaian terluarnya. Jika Allah Ta’ala melarang
untuk memperlihatkan perhiasan luar (selain tubuh), maka tentunya wajah
dan telapak tangan yang merupakan perhiasan yang melekat pada diri
seorang wanita lebih wajib lagi untuk disembunyikan.
3.
Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengulurkan khimar mereka sampai
ke dada-dada mereka, sementara khimar adalah sesuatu yang digunakan
wanita untuk menutup kepalanya. Jika khimar diperintahkan untuk
diulurkan sampai ke dada, maka tentunya secara otomatis wajah tertutup
oleh khimar tersebut.
Aisyah radhiallahu anha berkata,
“Semoga
Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama. Tatkala Allah
menurunkan, “Dan hendaklah mereka menutupkan khimar ke dada-dada
mereka,” mereka merobek kain-kain mereka lalu menjadikannya sebagai
khimar.”
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata, “Ucapan ‘mereka lalu menjadikannya sebagai khimar’,
yakni: Mereka menggunakannya untuk menutupi wajah-wajah mereka.”
(Lihat Fath Al-Bari: 8/489)
Adapun hadits Ibnu Umar di atas, maka dia menjelaskan mengenai beberapa perkara:
1. Kaki wanita adalah aurat yang wajib ditutup.
2. Larangan isbal hanya berlaku bagi lelaki dan tidak berlaku bagi wanita.
3. Panjang maksimal pakaian wanita adalah sehasta dari mata kaki, tidak boleh lebih dari itu.
Sementara hadits Abu Hurairah menjelaskan tentang syarat-syarat hijab dan hijab secara umum, yaitu:
1. Hijab tidak boleh tipis sehingga menampakkan apa yang ada di baliknya.
2. Hijab tidak boleh ketat sehingga membentuk lekukan tubuhnya.
3. Haramnya wanita berjalan dengan berlenggok, karena itu merupakan bentuk menampakkan perhiasannya.
4. Wajibnya wanita menjaga kehormatan dan rasa malu mereka.
5. Menutup sebagian tubuh dan menampakkan sebagian tubuh yang lain sama saja dengan telanjang.
[referensi: Hirasah Al-Fadhilah karya Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid]
B.Adab Berpakaian dan Berhias
Allah -Ta’ala- berfirman :
“Wahai
bani Adam, telah kami turunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi
auratkalian dan juga perhiasan. Sedangkan pakaian takwa , demikian itu
lebih baik. Demikian itu adalah salah satu dari ayat-ayat Allah, agar
mereka mau mengingatnya. Wahai Bani Adam, janganlah sampai syaithan
menimpakan fitnah kepada kalian sebagaimana dia telah mengeluarkan
kedua orang tua kalian dari surga, dan meninggalkan pakaian mereka
berdua sehingga auratnya tersingkap. Sesungguhnya syaithan, dia dan
pengikutnya dapat melihat kalian dari tmepat yang kalian tidak dapat
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan para syaithan
sebagai wali bagi orang-orang yang tidak beriman.“ ( Al-A’raf : 26 – 27 ).
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiallahu ‘anhuma, dia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Makan, minum, bersedekah dan berpakainlah kalian tanpa berlebih-lebihan dan berbuat kesombongan” .
C.Polemik Busana Muslimah Bermotif (bordir/renda)
Tanya:
Bismillah…
Assalamu’alaikum wa rohmatulloh wa barokatuh,
Ustadz,
kami memiliki pertanyaan seputar jilbab muslimah. Telah terjadi
diskusi antara beberapa akhwat, tentang hukum memakai busana muslimah
(jilbab/ gamis/ Jubah) yang bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/
bergaris-garis di luar rumah di hadapan non mahrom, dimana ada yang
membolehkan dan ada yang tidak. Berikut kami ringkaskan diskusi yang
terjadi:
Yang membolehkan berhujjah/beralasan:
1.
Pakaian bermotif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis
tersebut sudah biasa di negeri kita (Indonesia) dan berpakaian
hitam/gelap polos malah menjadi perhatian orang di sebagian tempat,
kondisi ataupun acara yang kebanyakan orangnya berpakaian
bercorak-corak/batik. Hendaknya kita berpakaian sesuai ‘urf, karena
menurut para ulama hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf berpakaian
masyarakat setempat.
2. Hadits Ummu Kholid rodhiyallohu anha yang mengenakan baju bergaris-garis hijau & kuning dalam Shohih al-Bukhori:
أُتِيَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا
خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ فَقَالَ مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ
هَذِهِ فَسَكَتَ الْقَوْمُ قَالَ ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ فَأُتِيَ
بِهَا تُحْمَلُ فَأَخَذَ الْخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا وَقَالَ
أَبْلِي وَأَخْلِقِي وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ فَقَالَ
يَا أُمَّ خَالِدٍ هَذَا سَنَاهْ وَسَنَاهْ بِالْحَبَشِيَّةِ حَسَنٌ
“Dibawakan
kepada Nabi sebuah kain yang di dalamnya ada pakaian kecil yang
berwarna hitam. Maka beliau bersabda, “Menurut kalian siapa yang pantas
kita pakaikan baju ini?” maka para sahabat diam. Beliau bersabda,
“Bawa Ummu Khalid ke sini,” maka Ummu Khalid pun dibawa kepada beliau,
lalu beliau mengambil baju tersebut dan memakaikannya. Lalu beliau
bersabda, “Semoga tahan lama hingga Allah menggantinya dengan yang
baru.” Pada pakaian tersebut ada corak yang berwarna hijau atau kuning,
dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, ini sanah, sanah.” Sanah
adalah perkataan bahasa Habasyah yang berarti bagus.” (no. 5375)
Dan
berpendapat bahwa meski ketika itu Ummi Khalid belum baligh namun Nabi
tidak mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan
sebuah kemaksiatan, sehingga hadits ini menunjukkan bolehnya seorang
perempuan dewasa mengenakan pakaian berwarna hitam yang bercampur dengan
garis-garis berwarna hijau atau kuning di hadapan laki-laki non
mahrom. Dan juga adanya kaidah “tidak boleh menunda penjelasan ketika
dibutuhkan”.
3.
Imam Bukhori pernah meriwayatkan dalam kitab Shohih-nya bahwa Ummul
Mukminin ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha pernah mengenakan pakaian berwarna
merah dengan “corak mawar” ketika sedang melakukan ihrom di Makkah.
(catatan : Namun dalam diskusi tidak diberikan teks haditsnya &
nomor hadits tersebut. Mohon konfirmasi dari ustadz, apakah hadits yang
bermakna seperti ini ada atau tidak dalam shohih al-Bukhori?)
4.
Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin rohimahulloh yang teks
terjemahannya ada di link :
http://www.alfurqon.co.id/busana-muslimah-dengan-bordir-dan-renda/
5.
Fatwa syaikh Ali bin Hasan al-Halabi yang mengatakan bahwa batasan
perhiasan adalah tergantung ‘urf masing-masing daerah. [Bila
diperlukan, file rekamannya bisa kami kirimkan via email(?)]
6. Penjelasan Syaikh Abu Malik Kamal dalam Shohih Fiqhis Sunnah lin Nisaa’ II/147-149.
7.
Berpakaian hitam atau warna gelap memang memiliki kecenderungan untuk
tersamarkan dari pandangan, akan tetapi berpakaian motif pun bisa
membuat kita tersamar dari pandangan. Yang terpenting adalah bagaimana
kita berpakaian, bukan seperti apa pakaian kita.
8.
Tidak ada dalil shohih & shorih yang melarang baru bermotif/
berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis untuk dipakai wanita
dewasa di luar rumahnya di hadapan non mahrom.
Yang tidak membolehkan berhujjah/ beralasan:
1. Keumuman firman Alloh ta’ala :
“dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka…” (QS. an-Nur : 31)
“Tetaplah
kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” [QS. Al-Ahzab : 33]
Sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam:
“Wanita itu aurat, maka bila ia keluar rumah, setan terus memandanginya
(untuk menghias-hiasinya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah
fitnah).” (Dishahihkan syaikh Al-Albani dalam ShahihAt-Tirmidzi , dan
syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/36)
2.
Motif/ renda/ bordir/ garis-garis/ batik tersebut termasuk perhiasan.
Bahkan secara ‘urf pun jika kita bertanya pada orang-orang :“apa tujuan
dibuatnya motif/renda/bordir dll tersebut di pakaian yang asalnya
polos?”, akan dijawab : “supaya indah”, “untuk hiasan”, dan yang
semisal itu. Dan secara bahasa pun (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia /
KBBI online) motif/ renda/ bordir juga disifati sebagai hiasan.
Jika
kalung kita sebut sebagai perhiasan leher, gelang adalah perhiasan
tangan, anting adalah perhiasan telinga, lipstik adalah perhiasan bibir,
maka kita juga bisa sebut motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/
bergaris-garis adalah perhiasan pada baju.
Sedangkan salah satu
syarat jilbab yang syar’i yang disebutkan oleh para ulama adalah bahwa
pakaian tersebut bukanlah perhiasan & ia berfungsi untuk menutupi
perhiasan, sehingga tidak masuk akal apabila jilbab yang dikenakan itu
sendiri berupa perhiasan.
3.
Dan memakai pakaian warna polos yang tidak mencolok di mata masyarakat
tidak bisa dikatakan menyelisihi ‘urf, jadi untuk sesuai dengan ‘urf
tidak harus dengan menghiasi pakaian dengan motif/ berenda/ berbordir/
batik sewarna/ bergaris-garis.
4.
Fatwa Lajnah Da’imah nomor 21352, tetanggal 9/3/1421 H tentang “model
aba’ah yang di syari’atkan untuk wanita”, yang beranggotakan : Syaikh
Abdul Aziz Alu Syaikh, Syaikh Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh Sholeh
al-Fauzan dan Syaikh Bakr Abu Zaid.
Di antara kriteria yang disebutkan adalah:
رابعا: ألا يكون فيها زينة تلفت إليها الأنظار، وعليه فلا بد أن تخلو من الرسوم والزخارف والكتابات والعلامات.
“Keempat
: Tidak diberi hiasan-hiasan yang dapat menarik perhatian mata. Oleh
karena itu harus polos dari gambar, pernak-pernik, dan tulisan-tulisan,
maupun simbol-simbol”.
5.
Dinukil pula pendapat Syaikh Amr Abdul Mun’im Salim dalam terjemahan
kitabnya “Ahkamuz Ziinah lin Nisaa’” ketika menjelaskan syarat “Pakaian
tersebut tidak berfungsi sebagai perhiasan”, setelah membawakan Surat
an-Nuur ayat 31 beliau menjelaskan :
“Hendaklah
pakaian tersebut tidak bercorak (bermotif) atau bergambar atau
berwarna warni lebih dari satu warna dan dibordir. Semua itu termasuk
perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh kaum wanita di hadapan
lelaki yang bukan mahromnya.”
6.
Hadits Ummu Kholid rodhiyallohu anha terjadi ketika Ummu Kholid masih
kecil (bahkan masih digendong), sehingga tidak tepat jika
meng-qiyas-kan hukumnya untuk wanita dewasa. Dan beralasan “Nabi tidak
mungkin melatih dan membiasakan anak kecil untuk mengerjakan sebuah
kemaksiatan” tidak tepat karena banyak ihtimal lainnya, seperti :
Karena
kain itu bercorak, maka Nabi memberikannya kepada anak kecil karena
mereka belum mukallaf & tidak terkena hukum berhias.
7.
Membolehkan motif/ berenda/ berbordir/ batik sewarna/ bergaris-garis
pada pakaian akhwat akan membuka pintu tabarruj, sedangkan agama kita
mengenal kaidah Saddu adz-Dzari’ah.
Mohon
tarjih & nasehat ustadz dalam masalah ini dan mohon penjelasan
bagaimana batasan ‘urf yang bisa digunakan dalam masalah pakaian
muslimah ini?
Demikian pertanyaan ini kami buat sejelas-jelasnya. Besar harapan kami ustadz bersedia menjawab pertanyaan ini.
Jazakumullohu khoiron.
Ummu Shofiyyah [mailto:ummu.shofi@yahoo.com]
Jawab:
Bismillah. waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Yang
ana yakini bahwa pakaian bermotif tidak boleh digunakan oleh wanita
muslimah ketika dia keluar rumah, karena dia termasuk zinah
(perhiasan), sementara Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk tidak
menampakkan perhiasan kecuali kepada mahram.
Sebagaimana
yang sudah dimaklumi bahwa para muslimah diwajibkan untuk berhijab,
dan berhijab ini lebih umum maknanya daripada sekedar berjilbab atau
bercadar atau menutupi seluruh anggota tubuhnya.
Akan tetapi berhijab yang syar’i adalah seorang wanita menutupi
seluruh tubuhnya serta perhiasannya, yang dengannya semua non mahram
tidak bisa melihat sedikit pun dari tubuh dan perhiasannya.
Sekarang masalahnya, yang mana yang termasuk perhiasan?
Asy-Syaikh
Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirasah Al-Fadhilah pada pembahasan ‘Hijab
yang bersifat khusus’ menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan zinah
(perhiasan) pada firman Allah Ta’ala,
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka,”
(QS. An-Nur: 31) adalah semua yang dipakai berhias oleh wanita, selain
dari asal penciptaannya (postur tubuhnya), atau dinamakan az-zinah al-muktasabah (hiasan yang bisa diusahakan).
Maksudnya: Tubuh wanita adalah perhiasan akan tetapi tidak bisa diusahakan adanya, karena memang asal penciptaannya seperti itu.
Selain
dari tubuhnya, yang juga diperintahkan untuk disembunyikan adalah
perhiasan yang bisa diusahakan, yaitu segala sesuatu yang menarik
pandangan orang selain dari anggota tubuhnya. Dan para ulama memberikan
batasan dari zinah (perhiasan) adalah semua perkara yang menarik
perhatian orang untuk melihatnya.
Jika ada yang bertanya: Bukankah pakaian luar (walaupun berwarna hitam) juga tetap dilihat oleh orang?
Jawab:
Betul, karenanya seorang wanita dianjurkan untuk tidak sering keluar
rumah agar pakaian luarnya pun tidak terlihat oleh orang lain.
Perlu
diketahui bahwa pakaian luar asalnya termasuk perhiasan yang dilarang
untuk diperlihatkan. Hanya saja berhubung terkadang wanita butuh keluar
rumah karena ada keperluan maka pakaian luar pun Allah kecualikan dari
hukum di atas dengan firman-Nya, “Kecuali yang nampak dari (perhiasan)nya.”
Jadi
pembolehan menampakkan pakaian luar termasuk hukum dharurat, karena
wanita kadang diizinkan keluar sementara tidak mungkin dia keluar tanpa
berpakaian.
Termasuk dalam ayat ini adalah ketika tanpa disengaja
pakaian luarnya tersingkap sehingga terlihat pakaian dalamnya
(maksudnya rumah yang ada dibalik jubah atau jilbabnya), maka ini
termasuk dalam ayat, “Kecuali yang nampak darinya,” yakni yang terlihat dalam keadaan tidak sengaja, bukan disengaja.
Kesimpulannya:
Kalau
para ulama menghukumi pakaian luar termasuk perhiasan yang harus
ditutup, sementara dia hanya diizinkan untuk dinampakkan karena
idhthirar (keterpaksaan/tidak ada pilihan lain), maka bagaimana bisa
seseorang menambahkan lagi hiasan (apapun motif dan coraknya) padanya
yang menjadikan orang lain tambah tertarik untuk melihatnya.
Tentunya
perbuatan ini termasuk dari perbuatan yang terlarang karena menjadikan
jilbab luarnya (yang asalnya boleh dinampakkan secara dharurat)
menjadi perhiasan yang tidak boleh dinampakkan.
Tambahan:
Melihat
keterangan makna zinah (perhiasan) di atas, maka termasuk perhiasan
yang harus disembunyikan oleh para wanita adalah: Tas atau dompetnya
yang bisa menarik perhatian, sandal atau sepatu yang bentuk dan
motifnya bisa menarik perhatian, kaus kaki atau kaus tangan yang
bermotif, dan seterusnya. Wallahu Ta’ala a’lam.
Adapun
dalil-dalil yang dibawakan oleh pihak yang membolehkan jilbab/jubah
bermotif, maka jawabannya sebagai berikut berdasarkan nomor dalil:
1.
Ucapan ini mengharuskan membolehkan semua pakaian yang haram boleh
dipakai kalau memang pakaian itu banyak dipakai oleh orang lain. Kami
katakan: Kenapa tidak sekalian melepaskan jilbab, toh yang tidak
berjilbab lebih banyak di negeri ini dibandingkan yang berjilbab.
Kalau dia berkata: Pakaian masyarakat juga tetap harus mengikuti aturan syariat.
Kami
katakan: Inilah yang kami inginkan. Walaupun pakaian bermotif bagi
wanita ini adalah hal yang tersebar di negeri ini, akan tetapi ada
syariat yang melarang wanita untuk menampakkan perhiasan. Dan sudah
dijelaskan bahwa pakaian bermotif termasuk dari perhiasan. Wallahul
muwaffiq.
2.
Adapun hadits Ummu Khalid, maka seperti yang anti sebutkan bahwa Ummu
Khalid ketika itu masih anak-anak sehingga diperbolehkan untuknya apa
yang tidak diperbolehkan untuk wanita dewasa. Karenanya tidak bisa
dikatakan bahwa beliau tidak melatih dan membiasakan anak kecil untuk
bermaksiat karena itu bukanlah maksiat bagi dirinya.
Apakah
dikatakan Nabi -alaihishshalatu wassalam- membiasakan anak kecil
berbuat maksiat atau atau dikatakan beliau mengundurkan penjelasan
ketika dibutuhkan, tatkala beliau membiarkan dua anak kecil memukul
rebana sambil bernyanyi di hari id?
Apakah dikatakan Nabi
-alaihishshalatu wassalam- membiasakan anak kecil berbuat maksiat atau
atau dikatakan beliau mengundurkan penjelasan ketika dibutuhkan,
tatkala beliau mengizinkan Aisyah bermain boneka berbentuk makhluk
hidup?
Hasya wa kalla, sekali-kali tidak.
Jika
dia mengatakan: Pembolehan anak kecil menyanyi di hari id dan bermain
boneka ada dalil yang membolehkannya. Maka kami katakan: Memakai
pakaian bermotif bagi anak kecilpun ada dalil yang membolehkan.
Karenanya masalahnya jangan dicampuradukkan.
3.Haditsnya
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-Hajj, Bab: Para
wanita tawaf dengan para lelaki, no. hadits 1618 (cet. Dar Al-Hadits),
dari Atha’ dia berkata:
وَكُنْتُ
آتِي عَائِشَةَ أَنَا وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهِيَ مُجَاوِرَةٌ فِي
جَوْفِ ثَبِيرٍ قُلْتُ وَمَا حِجَابُهَا قَالَ هِيَ فِي قُبَّةٍ
تُرْكِيَّةٍ لَهَا غِشَاءٌ وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذَلِكَ
وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا مُوَرَّدًا
“Dan
aku bersama ‘Ubaid bin ‘Umair pernah menemui ‘Aisyah radliallahu ‘anha
yang sedang berada disisi gunung Tsabir. Aku (Ibnu Juraij) bertanya:
“Hijabnya apa? Ia menjawab: “Dia berada di dalam sebuah tenda kecil.
Tenda itu memiliki penutup dan tidak ada pembatas antara kami dan
beliau selain penutup itu, dan aku melihat beliau mengenakan gamis
berwarna mawar”.
Sudah
dimaklumi bersama bahwa seorang salafi tidaklah memahami sebuah hadits
hanya berdasarkan terjemahannya, akan tetapi dia diharuskan untuk
merujuk kepada syarah para ulama terhadap hadits tersebut.
Dan
kelihatannya kesalahpahaman mereka memahami hadits ini untuk
membolehkan pakaian bermotif juga lahir karena mereka hanya berlandaskan
pada terjemahan biasa dan tidak merujuk kepada ucapan para ulama
terhadap hadits ini.
Kami
katakan: Tidak ada sedikit pun sisi pendalilan dalam kisah bagi yang
membolehkan pakaian yang bermitif. Ini bisa ditinjau dari beberapa
sisi:
1. Makna kalimat dir’an muwarradan dalam
kisah di atas bukanlah jubah bermotif mawar sebagaimana yang
diterjemahkan oleh sebagian penerjemah. Akan tetapi maknanya
sebagaimana yang Al-Hafizh Ibnu Hajar terangkan, “Warnanya warna
mawar,” yakni berwarna merah.
Karenanya
terjemahan yang anti sebutkan bahwa: [Ummul Mukminin 'Aisyah
rodhiyallahu 'anha pernah mengenakan pakaian berwarna merah dengan
"corak mawar" ketika sedang melakukan ihrom di Makkah] adalah tidak
tepat. Lagi pula kisah ini tidak terjadi di Makkah akan tetapi terjadi
di bukit dekat Muzdalifah.
2. Al-Hafizh menyebutkan lafazh ucapan Atha’ dalam riwayat Abdurrazzaq, “Pakaian yang berwarna, dan ketika itu saya masih kecil.” Al-Hafizh
berkata, “Maka Atha’ menjelaskan sebab dia bisa melihat Aisyah,”
yakni: Atha’ bisa melihat pakaian Aisyah dan Aisyah mengizinkan dia
melihatnya karena Atha` waktu itu masih kecil.
Dan
tidak mengapa seorang wanita menampakkan perhiasannya kepada anak
kecil. Itupun kita katakan Aisyah sengaja menampakkannya, akan tetapi
yang Nampak beliau tidak sengaja menampakkannya, dengan dalil adanya
hijab di antara mereka.
3.
Al-Hafizh juga menambahkan, “Ada kemungkinan dia tidak sengaja melihat
baju yang beliau kenakan.” Dan ketidaksengajaan tidak boleh dijadikan
dalil pembolehan sesuatu yang dikerjakan dengan sengaja.
(Fathul Bari: 3/545, cet. Dar Al-Hadits)
4.
Bagaimana bisa ucapan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin ini dijadikan
pendukung bagi yang membolehkan wanita memakai pakaian bermotif,
sementara ucapan beliau tegas sekali melarangnya. Beliau mengatakan,
“Apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah yang ditanyakan, maka
kami mengatakan bahwa hukum asal pakaian itu dibolehkan, akan tetapi apabila terdapat hiasan- hiasan bordir itu menarik perhatian bagi yang melihatnya, maka kami melarangnya bukan karena pakaian itu haram, tetapi karena pakaian itu menimbulkan fitnah.”
5.
Kami tidak tahu fatwa Syaikh Ali Hasan tersebut, tapi kalau memang
beliau mengataka bahwa batasan perhiasan adalah tergantung ‘urf
masing-masing daerah. Maka tidak ada masalah, kita katakan: Renda atau
corak pada bordir dan semacamnya menurut urf orang Indonesia adalah
hiasan. Silakan tanya kepada siapa saja yang ingin
mengenakan/menambahkan bordiran pada pakaiannya, apa tujuannya?
Kira-kira apa tanggapan para wanita awam yang punya bordiran/motif pada
pakaiannya tatkala dia disuruh untuk menghilangkan/membuang
bordiran/motif itu?
Jawabannya
tentu: Saya pasang itu untuk memperindah pakaian, dan saya tidak mau
menghilangkannya karena akan memperjelek pakaian atau akan membuatnya
kurang menarik.
Bukankah sesuatu yang indah dan menarik perhatian pada wanita termasuk zinah (perhiasan) syar’i yang harus disembunyikan???
6. Pada kitab Shahih Fiqhus Sunnah cet. Al-Maktabah At-Taufiqiah, pembahasan ini terdapat pada jilid 3 hal. 33-34.
Di sini Abu Malik Kamal -jazahullahu khairan- hanya menyebutkan masalah bolehkah wanita memakai pakaian selain warna hitam?
Itupun
di akhir pembahasan beliau menyebutkan bahwa yang dibolehkan hanya
yang satu warna polos. Adapun yang terdiri dari dua warna atau lebih
dalam satu kain maka itu termasuk pakaian yang dilarang karena akan
membentuk suatu motif.
Apa yang
beliau sebutkan ini sejalan dengan nukilan yang anti sebutkan dari Amr
bin Abdil Mun’im Salim, “Hendaklah pakaian tersebut tidak bercorak
(bermotif) atau bergambar atau berwarna warni lebih dari satu warna dan
dibordir. Semua itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan
oleh kaum wanita di hadapan lelaki yang bukan mahromnya.”
Dan kami sependapat dengan mereka berdua di atas, berdasarkan dalil-dalil yang mereka bawakan.
Jadi
penulis tidak menyinggung masalah pakaian bermotif atau berenda dan
semacamnya. Tapi kelaziman dari definisi zinah (perhiasan) yang dia
sebutkan, adalah dia harus menggolongkan renda/bordiran termasuk zinah
yang harus untuk ditutup. Karena dia berkata ketika menafsirkan ayat 31
dari surah An-Nur, “Perhiasan di sini secara umum mencakup pakaian luar
jika pakaian luar itu dihiasai dan menarik para lelaki untuk
melihatnya.”
Bukankah ini kenyataan yang terjadi pada mereka yang
memakai pakaian bermotif/berenda? Mata lelaki (yang ngaji maupun yang
tidak) bisa tertarik untuk melihatnya -kecuali yang dirahmati oleh
Rabbnya-.
Kemudian di akhir
pembahasan beliau (Abu Malik) menyebutkan, “Apa yang telah kami bahas
(berupa pembolehan memakai pakaian berwarna bagi wanita, pent.) tidak
menghalangi untuk kita mengatakan bahwa yang pakaian yang paling utama
dan lebih menutupi tubuh bagi wanita adalah yang berwarna hitam.”
Maka
wahai muslimah yang mengharapkan keberuntungan dan pahala yang besar,
apa yang menghalangi kalian untuk mengamalkan yang paling utama? Kenapa
justru mengamalkan yang kurang utama dan meninggalkan yang lebih
utama, hanya karena tidak enak dihadapan manusia??
Tambahan: Masalah
warna pakaian ini, walaupun pada dasarnya wanita bisa memakai pakaian
berwarna (sekali lagi bukan bermotif atau bordiran), maka di zaman ini
apakah ada alim yang faham kaidah saddu adz-dzariah (menutup wasilah
maksiat) yang akan mengatakan: Bolah seorang wanita memakai pakaian
berwarna pink?
Padahal pink ini
sudah identik dengan keindahan dan wanita. Bukankah kalau kita
menerapkan ucapan Syaikh Ali Hasan di atas, pakaian pink ini juga
termasuk zinah (perhiasan) yang harus ditutup?
Maka
demikian pula yang kami katakan pada warna-warna lainnya. Kami katakan
sebagaimana apa yang Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin katakan bahwa
walaupun asalnya adalah mubah tapi dia bisa dilarang untuk dipakai
tatkala dia dianggap sebagai perhiasan, wallahu a’lam.
7.
Apa maksudnya ‘dengan berpakaian motif kita bisa tersamar dari
pandangan’? Apa maksudnya dengan pakaian seperti itu kita bisa berbaur
dengan masyarakat dan tidak tampak mencolok?
Kalau
iya, kembali kami katakan: Kalau lebih tidak mau mencolok adalah
dengan cara lepas jilbab, insya Allah tidak akan mencolok sama sekali.
Subhanallah,
betapa anehnya pendalilan seperti ini. Bukankah Nabi -alaihishshalatu
wassalam- telah menegaskan bahwa pengikut beliau di akhir zaman akan
dianggap asing (berbeda dari yang lainnya). Lantas kenapa engkau wahai
muslimah ingin agar kamu tidak dianggap mencolok (asing) di mata
manusia?
8.
Kalau maksudnya dalil shahih lagi sharih itu harus berbunyi, “Wahai
wanita mukminah, janganlah kalian memakai pakaian bermotif,” atau
berbunyi, “Wanita mana saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka janganlah mengenakan pakaian berenda,” dan semacamnya.
Maka
hanya orang-orang awam atau orang bodoh yang mencari dalil shahih lagi
sharih -semacam ini- dalam semua permasalahan dalam Islam.
Dalil
yang shahih lagi sharih bagi kami adalah ayat yang melarang wanita
menampakkan perhiasannya. Dalil yang shahih lagi sharih bagi kami
adalah dalil yang melarang wanita melalui kaum lelaki dengan memakai apa
saja yang membuatnya menarik, baik itu parfum maupun pakaian bermotif.
Bahkan pakaian bermotif ini lebih parah dari parfum, karena parfum
hanya bisa dinikmati oleh orang yang ada di sekitar wanita itu,
sementara pakaian yang menarik pandangan bisa dinikmati dan ditonton
oleh orang yang berjarak 500 meter darinya (dengan menggunakan teropong
tentunya).
Wallahu Ta’ala A’lam, wahuwa Yahdi ila sawa`is sabil.
Sumber:Al-Atsariyyah.com
Wallahu a’lam
(artinya: “Dan Allah lebih tahu atau Yang Maha tahu atau Maha Mengetahui)
“Subhanakallahumma
wabihamdika asyhadu alla ilaha illa Anta astaghfiruka wa atubu ilaik
(Maha Suci Engkau ya Allah dan segala puji untuk-Mu. Saya bersaksi bahwa
tiada ilah yang berhak disembah selain Engkau, saya meminta ampunan dan
bertaubat kepada-Mu).”
"Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarokatuh,.